cari

Dampak otoriter orang tua terhadap perkembangan psikologi anak



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga mumnya anak ada hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anakOrang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena merekalah anak pertama kali mendapatkan pendidikan. Bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Orang tua dikatakan pendidik pertama karena dari merekalah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Dan dikatakan pendidik utama karena pendidikan dari orang tua menjadi dasar perkembangan dan kehidupan anak di kemudian hari. Oleh karena itu di butuhkan pola asuh yang tepat agar anak tumbuh berkembang optimal.

Sikap  orang tua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode disiplin itu meliputi dua konsep yaitu konsep positif dan konsep negatif. Dari Konsep positif dijelaskan bahwa disiplin berarti pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin diri dan pengendalian diri. Sedangkan konsep negatif dijelaskan bahwa disiplin dalam diri berarti pengendalian dengan kekuatan dari luar diri, hal ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan bagi anak. Ada tiga bentuk pola asuh dalam mendidik anak yaitu, pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Masih banyak orang tua yang salah dalam mengasuh anaknya, mereka lebih cenderung otoriter terhadap anaknya tanpa memberi kehangatan. Orang tua menggunakan kontrol, kekuasaan dan peraturan-peraturan yang di buat serta memaksa anaknya untuk menuruti semua yang di katakan. Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan di besarkan dalam keluarga. Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak. Akan tetapi jika anak diperlakukan secara otoriter anak tersebut akan cenderung merasa terkekang, merasa dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak di sayangi orang tuanya. Sikap orang tua yang otoriter seperti ini yang dapat mempengaruhi sikap, cara berpikir bahkan kecerdasan mereka. Banyak orangtua yang masih menganut sistem asuh anak dengan cara orangtua mereka sebelumnya. Masih banyak orangtua yang membentuk anaknya sesuai dengan kemauan dirinya, tanpa melihat potensi dan minat anaknya. Sehingga dapat menyia-nyiakan kemampuan anak tersebut.
Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya untuk sukses. Terdapat banyak cara untuk mencapai tujuannya tersebut. Namun, ada cara-cara yang tidak baik sehingga terdapat akibat buruk dari cara tersebut (Gunarsa & Gunarsa, 1995).
Ambron (dikutip dalam Yusuf, 2000, h. 23) mengatakan “sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif”. Jadi sosialisasi itu adalah proses pembelajaran kepribadian sosial sehingga dapat diterima di masyarakat. Sebab, setiap individu membutuhkan sesama untuk kelangsungan hidupnya.
Menurut Loree sosialisasi merupakan suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya”.
Menurut Baraja (2005, h. 203) “Titik pusat perkembangan sosial pada individu karena adanya hubungan dan interaksi yang terjadi antara dirinya (anak) dengan orang lain”. Jadi, setiap orang membutuhkan hubungan dan interaksi agar seorang individu (anak) dapat berkembang. Tentunya, setiap anak diharapkan berkembang menjadi individu yang baik.
Namun berkembangnya suatu individu sangat dipengaruhi oleh peran dari keluarga yaitu orangtua. Bagi orangtua yang menganut sistem asuh otoriter. Setiap anaknya akan di bentuk sesuai dengan apa yang ia inginkan, bukan berdasarkan apa yang anak inginkan dan anak mampu.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah ini`adalah:
a. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap otoriter terhadap anak? 
b. Apa saja dampak otoriter orang tua terhadap perkembangan psikologi anak? 

1.3 Tujuan
a.      Untuk menjelaskan  faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap otoriter terhadap anak.
b.      Untuk menjelaskan  dampak otoriter orang tua terhadap perkembangan psikososial anak.




1.4 Manfaat
a. Untuk mengetahui   faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya sikap otoriter terhadap anak.
b. Untuk mengetahui dampak otoriter orang tua terhadap perkembangan psikologi anak.
























BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Sikap Otoriter Orang Tua

Sikap orang tua otoriter adalah seberapa banyak kita mengekang anak dan tidak membiarkan mereka memiliki ruang geraknya sendiri. Orang tua yang otoriter tidak mengijinkan anak mempunyai pendapat sendiri, memiliki minat yang berbeda, atau melakukan sesuatu yang berbeda. Saya setuju dengan pendapat bahwa orang tua harus menjadi pemimpin anak-anaknya. Namun ini tidak berarti orang tua dapat memaksakan seluruh kehendaknya. Anak memerlukan ruang untuk bergerak, agar ia terlatih untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.
Masalahnya sekarang, kapankah kita tahu bahwa kita telah memaksakan seluruh kehendak kita, padahal yang kita maksud adalah mendidik anak agar mereka mempunyai hidup yang baik kelak? Untuk membedakan mana yang otoriter dan mana yang tidak memang dibutuhkan kepekaan ekstra dari orang tua atas dirinya sendiri. Kalau kita dapat memikirkan apa yang dipikirkan anak dan merasakan apa yang mereka rasakan setiap kali kita berkomunikasi dengan mereka, kita akan memiliki kepekaan itu. Jadi, kalau misalnya anak selalu salah, apapun yang mereka lakukan, dan hal ini membuat mereka apatis, atau sebaliknya memberontak habis-habisan, ada kemungkinan kita telah bertindak otoriter. Anak akan bertumbuh menjadi orang yang bergantung pada orang lain. Anak menjadi keras kepala dan sulit diatur. Ini akan terjadi pada anak yang lebih berani.
Dalam keadaan tertentu, kita memang tidak akan sempat lagi berdebat dengan anak karena mendesaknya waktu. Dalam keadaan demikian, kita perlu mengambil tindakan yang bersifat otoriter. Saya kira pemimpin manapun tentunya pernah melakukan tindakan dan keputusan sepihak tanpa persetujuan bawahannya, yaitu terutama dalam situasi darurat. Tetapi sedapat mungkin dalam kebanyakan keadaan, berikan pilihan-pilihan kepada mereka, sehingga anak relatif mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri bersama dengan konsekuensinya.
Dapat dikatakan bahwa gaya mendidik yang otoriter kita perlukan lebih banyak pada usia-usia dini anak, dan hendaknya semakin demokratis ketika anak semakin dewasa. Seharusnya pada saat remaja, anak semakin memperoleh kebebasannya. Untuk itu, kita perlu menyelesaikan penanaman dasar moral dan kebiasaan yang baik sesaat sebelum anak memasuki usia remaja. Sehingga ketika anak remaja diberi kebebasan menentukan dirinya lebih banyak, mereka tidak mengambil tindakan yang kurang bertanggung-jawab.
Otoriter itu didominasi oleh pemaksaan-pemaksaan orang tua kepada anak, jadi lebih banyak bertujuan memuaskan keinginan, target, ambisi, bahkan hawa nafsu orangtua sendiri. Sebaiknya orang tua dalam melakukan tindakan mendisiplin ataupun berelasi dengan anak dengan dilandaskan kasih sayang, jadi lebih banyak memikirkan kebutuhan dan kemampuan anak. Dalam hal ini orang tua lebih baik bersikap demokratis dan memberi ruang kepada perbedaan anak dengan orang tua, dan memberi ruang juga bagi anak untuk bertanya dan mencari alasan mengapa suatu hal diijinkan dan hal lain tidak diijinkan.

2.2 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini
Pengertian anak usia dini sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan anak dapat dirumuskan sebagai suatu proses perubahan yang berkesinambungan secara progresif dari masa kelahiran sampai usia 8 tahun. Dalam masa usia dini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dari segi fisik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan aspek-aspek kepribadian lainnya. Perkembangan pada setiap bidang tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Meskipun perkembangan setiap bidang dibahas secara terpisah namun harus dipahami bahwa setiap bidang perkembangan merupakan bagian dari keseluruhan perkembangan dan suatu unit kesatuan yang terdiri atas banyak aspek perkembangan (Hendrick, 1990).
Pada masa tersebut, anak berkembang kearah kemandirian, dari koordinasi yang kaku ke arah keterampilan luwes, dari bahasa tubuh ke arah komuniaksi verbal, dari kesadaran kepada diri-sendiri berkembangan ke arah perhatian kepada orang lain, dari kesadaran saat ini dan di sini ke arah kesadaran dan keingintahuan intelektual yang lebih luas, dari pemerolehan fakta terpisah ke arah konseptualisasi dan perkembangan minat yang mendalam pada simbol (Caplan & Caplan, 1984).

2.3 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini
Berbagai karakteristik perkembangan anak usia dini perlu dipahami oleh pendidik untuk memudahkan dalam pendampingan perkembangan anak usia dini sebagai anak didik.Karakteristik tersebut menurut Bredekamp & Copple (eds.), 1997.
a.    Ranah perkembangan anak-fisik, sosial, emosional, bahasa dan kognitif-saling berkaitan.
b.    Perkembangan terjadi berdasarkan urutan yang relatif teratur dengan kemampuan, keterampilan.
c.    Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang berbeda dari satu anak kepada anak yang lain.
d.    Pengalaman awal memiliki pengaruh kumulatif dan pengaruh perkembangan anak secara individual.
e.    Perkembangan berlangsung berdasarkan arah yang dapat diprediksi ke arah kompleksitas
f.     Perkembangan dan belajar terjadi di dalam dan dipengaruhi oleh berbagai konteks sosial dan budaya
g.    Anak-anak adalah pebelajar yang aktif, mereka mengambilpengalaman fisik dan sosial melalui budaya di sekitar mereka.
h.    Perkembangan dan belajar berasal dari interaksi kematangan biologis dan lingkungan.
i.      Bermain merupakan suatu alat yang penting bagi perkembangan sosial, emosi, kognitif
j.      Perkembangan maju saat anak memiliki kesempatan keterampilan yang baru diperoleh










Malas Copy Paste Download Disini





BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pola Asuh Otoriter Terhadap Anak
a. Menurut Muhli, (2012) beberapa faktor penyebab timbulnya pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
1.  Kesalahan dalam Menerapkan Harapan Jika orang tua mendidik anak itu dengan tujuan agar di masa yang akan datang, selain anak mampu memilih dan memilah hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, yang wajib dan yang tidak wajib, yang boleh dan tidak boleh, maka menjadi tujuan dari orang tua jika anak pada akhirnya nanti bisa hidup berbahagia. Makna kebahagian bagi orang tua kebanyakan adalah bagaimana anaknya bisa hidup sukses, kerja mapan, gaji tinggi, dan seterusnya. Dengan tujuan yang seperti itu, maka terkadang orang tua sampai memaksakan diri agar anaknya bisa mencapai harapan seperti apa yang diinginkan oleh orang tua tersebut. Sang anak disuruh melakukan ini dan itu tanpa kemudian melihat terhadap kondisi-kondisi yang terjadi pada diri anak.
2.  Kesalahan dalam Interaksi Simbolis Kesalahan dalam interaksi simbolis juga sering dilakukan oleh para orang tua seperti orang tua yang suka main tunjuk, menunjukkan muka musam, murung, gelisah, dan marah-marah dihadapan anaknya. Dengan demikian, maka orang tua telah menunjukkkan suatu kesalahan dihadapan anak-anaknya. Seharusnya orang tua bisa memanage perasannya sendiri agar tidak nampak atau terlihat oleh anak-anaknya.
3.  Kesalahan dalam Interaksi Psikis Salah satu kesalahan yang dapat dilihat di sini adalah orang tua yang suka membentak anaknya, atau seorang ayah yang membentak istrinya dihadapan anaknya. Termasuk dalam hal ini adalah orang tua yang sering berbicara lantang atau nyaring (keras) dan kasar dihadapan anaknya.
4.  Kesalahan dalam Interaksi Fisik Para ahli telah menunjukkan bahwa pemukulan terhadap anak bukanlah cara yang efektif dalam mendidik anaknya, betapapun pemukulan ini diperbolehkan oleh agama.
5.  Kesalahan dalam Intelektual-Ideologis Orang tua yang salah secara intelektual dan ideologis adalah orang tua yang “tidak berintelektual dan berideologis”. Para orang tua yang mengekang perkembangan intelektual dan ideologi anak seperti orang tua yang tidak memperbolehkan anak untuk ikut aktif dalam organisasi dimana organisasi tersebut berseberangan dari organisasi yang digeluti oleh orang tuanya.
6.  Kesalahan dalam Interaksi Moral-Etis Orang tua yang suka berbohong, berdusta, menipu, dan lain sebagainya adalah orang tua yang mengalami kesalahan secara moral-etis.

b. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu:
1.  Sosial ekonomi Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh status ekonomi.
2.  Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya.
3.  Nilai-nilai agama yang dianut orang tua Nilai-nilai agama juga menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang tua pada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan juga turut berperan didalamnya.
4.  Kepribadian Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak.
5.  Jumlah anak Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.
6.  Kepribadian orang tua Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya.
7.  Situasi anak Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan mengasuh dengan pola asuh otoriter.
8.  Konsep mengenai peran orang tua dewasa Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern.


3.2 Dampak Pola Asuh Otoriter terhadap Perkembangan Psikososial Anak
Dampak dari pola asuh otoriter adalah anak menjadi susah bergaul dengan anak lain akibat terlalu banyaknya perintah atau tuntutan dari orang tua mereka. Anak-anak dalam usia 6-12 tahun masih senang dengan bermain serta menemukan hal-hal baru. Mereka akan mencoba melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain setiap olahraga yang, membaca-baca buku, dan mencari tahu tentang apapun yang mereka temukan (“Memahami perkembangan psikososial anak”, 2014). Namun, hal tersebut banyak yang tidak bisa dirasakan oleh anak-anaknya karena orangtua yang banyak memaksa anaknya untuk melakukan setiap perintah yang ia katakana. Mereka tidak segan-segan untuk mehukum anaknya jika tidak menjalani setiap perintahnya.
Orangtua banyak memaksa anaknya untuk mencapai apa yang ia inginkan tanpa memikirkan bagaimana caranya. Sehingga anak-anak menggunakan cara-cara yang tidak baik untuk mencapainya. Padahal, keberhasilan dicapai dengan kerja keras dan terdapat tahapan serta prosesnya (Susana et al., 2006, h. 71). 
 Dampak positif. Dampak positive dari pengasuhan otoriter yaitu anak menjadi seorang yang patuh. Seorang anak akan mendengarkan setiap perintah yang diberikan oleh orangtuanya (Muljono, 2014). Bagi seorang anak yang sudah biasa diperintah, maka ia akan mudah untuk mengikuti setiap aturan dan perintah yang diberikan oleh orang lain.
 Dampak negatif. Dampak negatif dari pola asuh otoriter, yaitu
1.  tidak mempunyai kekuatan untuk mengatakan tidak,
2.  takut salah,
3.  tidak mempunyai kekuatan untuk memilih,
4.  tidak bisa mengambil keputusan sendiri,
5.  takut berbicara/mengungkapkan pendapat (Muljono, 2014). Setiap anak yang yang sudah terbiasa diperintah tanpa bisa memilih jalannya sendiri akan menjadi seorang yang tidak bisa menentukan tujuan hidupnya sendiri.

























BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Seperti yang dibahas dalam pembahasan di atas. Dapat dilihat bahwa dampak negatif dari pengasuhan dengan sistem otoriter lebih banyak dari pada hal positifnya. Banyak dampak negatif yang dapat diberikan oleh pengasuhan dengan tipe otoriter.Hal-hal tersebut tentu mengganggu perkembangan psikososial anak usia 6-12 tahun. Anak-anak menjadi susah untuk bersosialisasi dengan orang lain karena banyaknya paksaan atau tekanan yang diberikan oleh orangtuanya. Akibatnya, anak menjadi susah untuk berkembang dengan baik dan membuatnya susah untuk berbicara dengan orang lain. Sikap  otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

4.2 Saran
Sebaiknya, orangtua memberikan keleluasaan bagi anaknya untuk memilih apa yang ia inginkan. Fungsi orangtua sebagai pengawas dan pembimbing untuk anak itu menentukan pilihannya. Agar setiap anak dapat meraih cita-citanya dan menggunakan setiap aspek kemampuannya dengan maksimal. Orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik, mengasuh dan merawat anak dengan baik. Oleh karena itu orang tua juga harus banyak belajar tentang cara mengasuh anak agar anak memiliki kepribadian yang baik. Terkadang sebagai orang tua banyak menuntut kepada anak untuk melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan anak bahkan dibumbui dengan ancaman apabila anak tidak mau melakukan sesuai kemauan orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
 
 Anonim. 2011. Memahami Pola Asuh Otoriter. (Online) memahami      pola-asuh-otoriter/,
Artikel_10503078.pdf, Hasan, Maimunah. 2012. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta : DIVA Press
Baraja, A (2005). Psikologi perkembangan: Tahapan-tahapan & aspek-apeknya.Jakarta: Studia Press.
Chaderinsaputra. 2012. Makalah Pola Asuh. (Online) (http://chaderinsaputra.wordpress.com/2012/06/05/makalah-pola-asuh/, diakses 22 maret 2012)
Dewintahani. 2010. Pola Asuh. (Online) (http://dewintahani.blogspot.com/2010/03/pola-asuh.html,
Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. (1995). Psikologi praktis: Anak, remaja dan keluarga.Jakarta: Gunung Mulia.
King, L. A. (2014). The science of psychology: An appreciative view (3th ed.). New York, NY: McGraw Hill.
Santoso, M. V., Anjani, N. D., Fadila, B. R., Faizah, Roosyida, dan Tiananda, M. (2014). Perkembangan sosial dan emosi anak usia 7-11 tahun (psikologi perkembangan).
Susana, T., Arini, T. A., Wanei, G. K., Adiyanti, Gamayanti, I. L., Hidajat, L. L., Widyastuti, V. (2006). Konsep diri positif, menentukan prestasi anak. Yogyakarta: Kanisius.






Tidak ada komentar: