cari

Dampak Konflik Sosial Etnis di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri (individu) maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik.
Konflik pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Tetapi sering kali konflik antar etnis menimbulkan dampak yang sangat serius bagi kedua belah pihak, baik moral,  maupun materil. Didasari hal inilah penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah tentang “Dampak Konflik Sosial Etnis di Indonesia

1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan maka rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut:
1.      Apa penyebab dari konflik sosial antar etnis di Indonesia ?
2.      Bagaimana dampak dari konflik sosial antar etnis di Indonesia?
3.      Apa solusi dari konflik sosial antar etnis di Indonesia?

1.3.       Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui  Penyebab konflik sosial antar etnis di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui   Dampak dari konflik sosial antar etnis di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui   Solusi dari konflik sosial antar etnis di Indonesia.

1.4 Metode  Penelitian dan Penulisan
1.4.1 Metode penelitian
Metode kepustakaan ( Library Reseach ) adalah mengumpulkan data dengan membaca buku-buku yang relevan untuk membantu di dalam menyelesaikan dan juga untuk melengkapi data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

1.4.2 Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif karena penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait dengan pendapat, tanggapan atau persepsi seseorang sehingga pembahasannya harus secara kualitatif atau menggunakan uraian kata-kata. “Penelitian deskriptif mencoba mencari deskripsi yang tepat dan cukup dari semua aktivitas, objek, proses, dan manusia”. (Sulistyo-Basuki, 2010:110).

 1.5 Hipotesis
Penelitian ini dilakukan atas hipotesis sebagai berikut:  Ketidak mampuan etnis pendatang beradaptasi terhadap etnis local, dan kecemburuan sosial etnis local atas keberhasilan etnis pendatang adalah sebab utama terjadinya konflik etnis”.



















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Konflik
Berikut ini adalah beberapa pengertian konflik sosial menurut para ahli:
Menurut Wikipedia, Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya
Menurut Soerjono Soekanto, memberikan pengertian konflik berdasarkan tujuan. Menurutnya pengertian konflik adalah pertentangan untuk berusaha memenuhi tujuan dengan cara menentang pihak lawan. 
Menurut Littlejohn dan Domenici (2007), membagi 3 pengertian konflik yaitu: konflik sebagai pertentangan dalam perebutan tujuan (conflict in the struggle for goals), konflik sebagai sebuah antagonism dan konflik sebagai oposisi sosial (conflict as social opposition). apabila kita hanya melihat dari sudut pandang politik, konflik didefinisikan sebagai sesuatu yang penuh antagonisme.
Menurut penulis, Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara dua pihak dan masing-masing berusaha mempertahankan hidup, eksistensi, dan prisipnya.
2.2 Pengertian etnis
Pada awalnya istilah etnis hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnis juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan ratusan etnis lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnis dirasa lebih netral. Istilah etnis sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam buku ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya.dan berikuta adalah pengertian etnis menurut para ahli:
Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnis menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata étnik bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.





















BAB III
PEMBAHASAN

3.1.    Penyebab Konflik antar Etnis
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnis sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnis-etnis yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnis yang terbesar diantaranya melibatkan etnis Madura dengan Etnis Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnis merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnis adalah prasangka antar etnis. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnis.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnis di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnis dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
Secara garis besar, ada beberapa hal yang sering menjadi penyebab terjadinya konflik antar suku bangsa di Indonesia. Beberapa penyebab tersebut antara lain;
1.      Sejarah masa lalu, dimana pada masa lalu kehidupan antar suku diwarnai persaingan yang bersujung pada konflik untuk memperebutkan status dan juga gengsi
2.      Kecemburuan ekonomi, biasanya, suku pendatang yang mampu meraih keberhasilan di bidang ekonomi akan menimbulkan kecemburuan pada penduduk asli, hal ini akan menyebabkan terjadinya gesekan karena menganggap bahwa suku pendatang merebut potensi ekonomi yang seharusnya mampu menyejahterakan suku asli.
3.      Rasa fanatisme sempit, hal ini juga menyebabkan ada perasaan bahwa kepentingan kelompok harus dibela, terlepas dari posisi benar atau salah.
4.      Kurangannya pengetahuan, dalam penyelesaian masalah secara demokratis.
5.      Kurangnya pendidikan agama, pendidikan agama sangat penting untuk memberi nilai-nilai moral dalam pengendalian diri, dalam pergaulan.

3.2.    Dampak dari Konflik antar Etnis
Pada sebuah konflik dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf  Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel  di dalam posisi dominasi. Perubahan yang dimaksud adalah, perubahan status sosial, pola interaksi, dan solidaritas sosial. Kedua, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi konflik yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar.
Sedangkan dampak negatif Adanya berbagai konflik antar suku yang terjadi tersebut akan menimbulkan dampak baik yang bisa dirasakan secara langsung atau tidak. Dampak ini bukan hanya menimpa pada kelompok yang tidak terlibat konflik saja, tetapi tidak kemungkinan juga menimpa pada kelompok yang tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut. Dampak negative tersebut antaralain:
1.      Menimbulkan hilangnya rasa aman, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan konflik akan selalu di hantui ketakutan apabila konflik kembali terulang.
2.      Hilangnya persatuan bangsa, dengan  konflik antar suku tersebut, maka persatuan bangsa akan mudah hilang karena masing-masing pihak enggan untuk diajak berdamai/rujuk.
3.      Rusaknya tata kehidupan, konflik membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk bekerja, mencari nafkah atau mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.
4.      Kerugian materil yang tak terhitung, karena sebuah konflik perusakan fasilitas hidup umum maupun pribadi dapat terjadi seperti, pembakaran rumah, pasar, sekolah atau tempat ibadah.


3.3.    Solusi dari Koflik antar Etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab.  Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif.  Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi.  Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
                       
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
   
1.  Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2.  Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4.  Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5.  Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

a.    Aspek kualitas warga sukubangsa
1)    Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2)    Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3)    Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.

b.   Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.















BAB IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan maka didapat kesimpulan sebagai beruk ini:
1.      Penyebab konflik sosial antar etnis di Indonesia adalah sebagai berikut: kurangannya adaptasi suku pendatang terhadap suku local, kecemburuan ekonomi,fanatisme sempit, kurangnya pengetahuan denokrasi dan keimanan.
2.      Dampak yang ditimbulkan dari konflik sosial antar etnis secara signifikan menunjukan dampak negative yang diantaranya: terganggunya keamanan, retaknya hubungan sosial, rusaknya tata kehidupan, dan kerugian materil yang tak terhitung jumlahnya.
3.      Solusi dalam penyelesaian konflik antar etnis yang mungkin bisa ditempuh adalah sebagai berikut: peran pemerintah sebagai peredam, mediator, dan penengah dalam konflik serta kesediaan kedua belah pihak untuk memaafkan dan melupakan kesalahan masing-masing.


3.2.    Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diambil maka penulis menyarankan agar:
1.      Pemerataan pembangunan dan peninggkatan perekonomian semestinya juga menghormati kearifan-kearifan local suatu daerah.
2.      Pemerintah memberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika, sehingga tidak memunculkan potensi konflik.
3.      Pemerintah memiliki peran sentral dalam penyelesaian konflik, oleh karena itu peran aktif dan keseriusan pemerintah dalam penyelesaian dan penanggulangan konflik harus ditingkatkan.
















DAFTAR PUSTAKA
http://smartpsikologi.blogspot.com
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
Darmanik, Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara
Nurseno.2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Ali, Muhammad.1999.Kamus Lengkap,Bahasa Indonesia Modern.Jakarta:pustaka Amani.
Boulding, Kenneth E.1972.”The Image” dalam James P Spradley. Culture and Cognition Rules
Giring.2004.Madura dimata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi.Yogyakarta:Galang Press.
Jurnal Antar Budaya Menemukan Diri yang Inklusif dan Transformatif.Edisi 1, Tahun 1, Juli 2009.Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. II•No. 1•April 2006. Medan: Jl. Dr. A. Sofyan No.1 Kampus USU, Padang Bulan.
Munib, Acmad,dkk (2009) Pengantar Ilmu Pendidikan.2009.Unnes press, Semarang
Koentjaraningrat.2000.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:PT RINEKA CIPTA.
Salim, Agus.2007.Teori Sosiologi Klasik dan Modern(sketsa pemikiran awal).Unnes Press.
Soekanto, Soerjono.2004.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Tim Fakulas Ilmu Sosial Unnes.2007.Studi Masyarakat Indonesia.Semarang:Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
www.Tempo.com  Kesenjangan Sosial,Akar Permasalahan Konflik Sampit.
sumber :  http://sirhusain.blogspot.com/2011/12/konflik-madura-dan-dayak-di-kalimantan.html

Tidak ada komentar: